Kompleksnya Penilaian Kuantitatif untuk Hal yang Bersifat Kualitatif

Apakah tidak ada sistem penilaian yang lain?

Latar Belakang

Penilaian kuantitatif ini sangatlah menarik. Kita akan sering sekali menilai sesuatu dengan kuantitatif. Jika tanpa nilai yang bersifat kuantitatif, kita akan bingung bagaimana cara menilai. Sebagai contoh, mari kita lihat sistem pemesanan makanan secara daring. Jika kita tidak puas, maka kita akan memberi bintang 1, namun jika kita puas maka akan memberi bintang 5. Puas atau tidaknya kita ditentukan oleh jumlah bintang. Namun, sistem ini akan membawa kita beberapa hal:

  1. Kita (atau saya saja deh, agar aman) akan lebih memilih restoran dengan bintang tinggi. Bagaimana dengan yang baru buka? Calon pemesan akan bingung dan bimbang, perlu ada yang "berkorban" untuk mencobanya dan memberi rating. Menurut saya, hal ini yang membuat sesuatu yang tidak rumit menjadi sangat rumit. Toh, soal suka tidaknya makanan itu bergantung selera. Walaupun, ya memang ada kasus beberapa penjual nakal yang memberikan makanan seadanya yang bahkan tidak layak untuk dimakan. Jika ada hal penjual nakal, akan lebih baik jika ada "standar" yang jelas mengenai kualitas makanan, bukan sekedar rating yang menurut saya sangat rumit.

  2. Beberapa oknum termasuk saya jadi tidak puas jika tidak memiliki nilai sempurna. Walaupun saya sadar tidak ada yang sempurna, namun saya menuntut nilai sempurna saat hanya ada kesalahan kecil. Saat diberikan nilai 3 atau 4, saya akan bertanya-tanya, kok bisa. Apalagi jika hanya diberikan komentar: "puas", tetapi diberikan nilai 3 dan 4. Sesuatu yang seharusnya bisa subjektif, tetapi saat diberikan nilai kuantitatif menjadi sangatlah kompleks.

  3. Terkadang menjadi bias. Oke, ini kasus saya lagi. Saya pernah mendapat nilai 1 dan itu memberi dampak buruk untuk saya. Padahal jika diteliti lagi, pemberi nilai 1 kurang memiliki pemahaman dari apa yang dia berikan. Pemberi nilai 1 merasa dia tidak puas dari feedback atau umpan balik yang saya berikan dan menganggap bahwa solusi dia sudah paling benar. Padahal jika diberikan bukti-bukti, umpan balik saya sudah sesuai, namun karena penilai tidak terima, saya kena getahnya dan diberikan nilai 1. Wah, sesuatu yang subjektif, menjadi nilai kuantitatif yang memiliki resiko bahwa saya yang akan dipertanyakan.

  4. Ada banyak hal lain yang sesuatu akan memberi dampak sangat baik jika benar-benar dinilai secara kualitatif bukan sekadar kuantitatif. Masih banyak sistem yang "mendewakan" kuantitatif, sehingga buta terhadap hal-hal kualitatif. Saya sendiri, sering kok mendapat nilai tidak sempurna, namun saya sangat jarang mendapatkan umpan balik mengenai alasan pemberi nilai. Jadi saya sangatlah bias mengenai apa yang bisa diperbaiki. Saya sering mendapatkan umpan balik bahwa coba "self reflection", bagaimana saya bisa melakukannya jika saya sendiri tidak tau standar apa yang digunakan? Jatuhnya saya meramal.

Ini murni hanya pendapat dan tidak mendorong untuk menerapkan suatu sistem baru. Namun, saya hanya bertanya-tanya, mengapa terlalu banyak sistem yang menggunakan hal-hal kuantitatif untuk suatu hal yang seharusnya memberi dampak baik jika diberikan pendapat dan dinilai secara kualitatif. Jika saya hanya diberikan nilai 80, 70, lalu apa yang saya dapatkan? Kebanggaan nilai saya tinggi? Saya rasa bukan. Oke, sebelum tutup, sebagai contoh di Perguruan Tinggi, di beberapa mata kuliah, saya hanya mengetahui nilai akhir, oh saya dapat A, B, atau C, tetapi adakah umpan balik mengenai apa yang saya masih kurang. Bagian mana yang bisa saya kembangkan untuk bisa tercapai tujuan pembelajaran tersebut? Tidak ada. :)

Pengalaman

Justru, saya sedikit kagum mengenai sistem sertifikasi, yang sampai sekarang ini banyak atau ada organisasi yang tidak menerima hal itu (sertifikasi untuk perorangan). Padahal organisasi mengejar sertifikasi untuk organisasinya sendiri (ups). Oke, kenapa saya kagum? Karena setelah mendapat hasil sertifikasi, kamu tidak hanya mendapat lulus/tidak lulus, tetapi mendapat juga poin mana yang bisa dikembangkan lagi. Walaupun memang yang diuji bukan 100% materi, tetapi kan tau apa yang masih kurang. Poinnya adalah bukan sekedar angka yang diberikan, bukan sekedar lulus/tidak lulus, tetapi apa yang bisa kita kembangkan lagi bahkan setelah tidak lulus. Sebagai contoh, saya pernah gagal salah satu sertifikasi, nah, saya dapat umpan balik bagian mana yang saya perlu pelajari lagi. Bukan lagi mengagungkan lulus/tidak lulus, nilai tinggi, dan hal kuantitatif yang menurut saya hanya pendukung saja, bukan hal utama yang dikejar.

Penutup

Sudah terlalu banyak hal yang seharusnya dicari "kualitas", tetapi karena menganggap "kuantitatif" adalah solusi sehingga yang sebenarnya berkualitas menjadi tidak terlihat karena nilai kuantitatifnya buruk. Tidak sedikit, bisnis yang bagus, produk yang bagus, dinilai buruk hanya karena ketidaksukaan tidak berdasar. Contoh aja deh, ada 1 juta orang yang terdorong oleh 1 "influancer" yang mengatakan produk A buruk, dan akhirnya produk A mendapat nilai 1 karena 1 + 1 juta orang. Apakah kamu akan membelinya? Saya rasa Anda akan berpikir berkali-kali, padahal itu pendapat 1 orang loh. Kalau itu hanya karena selera orang berbeda, apakah itu layak menjadi penilaian yang satu-satunya?

Kembali lagi, saya ingin tau apakah tidak ada lagi cara penilaian yang bisa kita terapkan?